Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.
  • Maaf dan Terimakasih

    Kata "Maaf" dan "Terimakasih" bukan ungkapan basa-basi. Ia adalah kualitas kemanusiaanmu

  • Gak Usah Ember

    Ada banyak hal yang tidak perlu diumbar ke orang lain, biar kemesraan hanya milik kita. Sekalipun itu telah jadi kenangan.

  • Dua Tangan

    Jika ocehanmu tak bermutu, ngocehlah sama tanganku.

  • Terpisah Rak Buku

    Maka apa yang lebih mesra dari sepasang kekasih yang terpisah rak buku?.

Sunday, February 24, 2019

K. Maujudi Djudaidi




"Sudah makan?" Pertanyaan itu yang seringkali diucapkan setiap menyambut tamu. Mau Anda maling, bandar narkoba, santri, kiai, guru, berpenampilan necis, semrautan, songkoan, gondrong, atau bahkan gila, siapapun yang datang, tidak luput dari pertanyaan makan. Dan, apapun jawaban yang Anda berikan, pasti disuguhi makanan.

Begitu diantara cara K. Maujudi Djudaidi memperlakukan tamunya. Tidak ada seorangpun yang dibencinya apalagi dianggapnya musuh. Bagaimana membenci, marah saja tidak.

 Bila suara beliau meninggi seperti teriak sehingga terkesan marah, hanya sekilas. Seper sekian detik kemudian disusul tawa beliau. Tawa yang khas. Suara tidak terlalu keras, namun bibir mengembang lebar dan sebagian gigi sampai kelihatan.

Orang-orang memanggilnya Pak Judi. Jarang sekali yang memanggilnya Kiai, termasuk santri-santri beliau. Sebagian memanggilnya Bapak Kiai. Itu atas permintaan beliau, tersebab tidak ingin dipanggil kiai. Menurut riwayat, saat dulu nyantri di Mayang oleh pengasuh dipanggil Yuda. Beliau mondok di Mayang sejak belum genap umur 10 tahun. Berguru langsung di pesantren asuhan Kiai Asyim Bin Kiai Moh. Ilyas bin Kiai Muhammad Assyarqowi. Saat itu beliau jadi teman sepermainan putra pengasuh, yakni Kiai Naufal.

Maujudi remaja gemar menuntut ilmu. Ia sebetulnya kerasan di pondok, dan tidak ingin berhenti mondok. Hanya saja, Ia harus pulang ke Serah Temor, Sumenep, disebabkan peristiwa tidak terduga. KH. Ashim membubarkan pesantrennya dan menyuruh seluruh santri pulang, sedang KH. Ashim sendiri pulang ke Ponpes Annuqayah, Kamisan, Guluk-Guluk. Oleh karena itulah, Maujudi remaja memilih pulang ke Sumenep dan menyusul gurunya ke Ponpes Annuqayah, namun mondok di Annuqayah Daerah Latee yang diasuh oleh KH. Ahmad Basyir bin Abdullah Sajad bin Moh. Assyarqowi.

Di pesantren barunya ini, oleh KH. Ahmad Basyir AS langsung diberi tugas mengajar. Maujudi remaja pun mengajar muallimin, namun tetap menempatkan dirinya sebagai santri yang tidak mau alfa mengikuti pengajian KH. Ahmad Basyir AS, karena niatan awalnya adalah nyantri bukan ngajar.

Kiai Maujudi terkenal sebagai alim ilmu nahwu. Banyak yang berguru kepada beliau, selain terkenal kealimannya dalam bidang nahwu, juga kewara'an beliau dan pemahamannya pada tasawuf. Dari beberapa penganut aliran thariqah juga banyak yang sering datang kepada beliau. Saya sendiri menyaksikan bagaimana kenyelenehan para tamu-tamu itu saat datang.

Semasa hidupnya, beliau abdikan untuk menebar kebaikan dan ilmu. Mengisi pengajian dan ilmu nahwu di pesantren-pesantren, tentu atas permintaan para pengasuhnya. Kitab karangan beliau diantaranya امثال المختصر. Kitab ini berisi ringkasan dan contoh-contoh ilmu nahwu dan sharraf. Apa yang diajarkan Kiai Maujudi menekankan pada penggunaan kata dalam memaknai dengan tepat. Semisal, ketika ditanya apa pengertian isim mufrad ( الاسم المفرد)? Beliau menyalahkan jawaban yang menyebutkan bahwa isim mufrad adalah kata benda yang bermakna satu. Hal itu yang terjadi pada penulis, si alfaqir bililmi ini, dulu. Padahal pengertian itu yang saya dapatkan, hingga kemudian beliau menjelaskan pengertian yang lebih tepat.

"Jika isim mufrad adalah kata benda yang bermakna satu, maka زيد bukan isim mufrad," saya hanya bengong.

"Lah iya kan? Yang berhak jadi isim mufrad hanya واحد karena bermakna satu" menjelaskan itu, beliau sambil lalu tersenyum.

"Aengki..." hanya itu jawaban saya.

 Kemudian beliau menjelaskan bahwa banyak yang salah memilih diksi dalam menjelaskan ilmu nahwu dan kitab sehingga berakibat pada salah paham pada maksud penulisnya.

"Isim Mufrad adalah kata benda yang pengertian banyaknya satu," sembari memberi penekanan pada kata 'pengertian banyaknya', saya pun mulai paham apa yang dimaksud beliau.

Beliau adalah tempat saya dan santri-santrinya menemukan ketenangan. Menemukan jalan keluar dari setiap persoalan yang kami hadapi. Benar beliau mengajarkan bagaimana mebaca kitab, namun terlebih utama yang diajarkan beliau adalah cara menjalani kehidupan. Bagaimana seharusnya menjadi manusia yang menjadikan seluruh manusia adalah saudara. Bagaimana menjadi makhluk yang selalu berbaik sangka kepada penciptanya.

Kini beliau telah tiada. Hari Rabu kemarin tepatnya pukul 21 malam, pada tanggal 20 Februari 2019, Beliau meninggal dunia di kediamannya, Serah Temor, Bluto Sumenep. Semoga amal baiknya dinilai ibadah dan diterima oleh Allah SWT, serta segala khilafnya mendapat pengampunanNya. Alfaatehah...

Kami, merindukanmu, bimbinganmu, wahai guru. Akuilah kami sebagai santrimu.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

INSPIRASI MENGHADAPI UJIAN HIDUP



Judul Buku : Mengeja Takdir Tuhan
Penulis : Belgis H. Nufus, dkk.
Penerbit : PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia
Tahun Terbit: Jakarta, 2018
Tebal Buku : 204 halaman
ISBN : 9786020457567
Peresensi : Muktir Rahman

Bagi setiap yang lulus ujian hidup akan memperoleh hadiah, dan itu disesuaikan dengan kapasitas ujian yang diterima. Semakin besar ujian diterima maka hadiah dari Tuhan tentu lebih besar pula. Hal itu dibuktikan oleh para penulis dalam buku bergenre “self motivation” ini. Mereka menuliskan dengan baik kisah ujian yang mereka hadapi, dan bagaimana indahnya hadiah di balik peristiwa itu.

Pengalaman para penulis dituturkan tanpa ragu. Mereka yakin dan jujur mengungkapkannya. Sungguh betapa Tuhan sering kali memberi kejutan kepada hambaNya, sebagaimana dikisahkan oleh Belgis.

Saat dia mengalami cobaan hidup yang sulit dihadapi, membuatnya down dan hanya menangis tanpa melakukan apapun. Hingga kemudian Tuhan memberinya hidayah melalui suaminya untuk bangkit dan mencoba kegiatan baru. Dia pun mencoba melapangkan hati semampunya, mencoba tegar meski tidak sekuat baja, mencoba bersabar dan berdoa sebanyak-banyaknya. Dia pasrahkan semua kepada Tuhan. Kemudian dengan cara yang sulit dijangkau akal, Belgis mendapat kesempatan berkunjung ke Kuala Lumpur bersama anak dan suami. Hal yang diinginkannya sejak lama. Di sana dia mendapatkan hiburan dan bisa melupakan kesedihan yang dialaminya sekaligus menemukan solusi untuk masalahnya. Dia hendak menyampaikan melalui kisahnya bahwa ujian harus dihadapi dengan tegar, tabah dan sabar pada akhirnya ujian itu menemukan jalan keluar.

Tidak berbeda jauh kisah yang dituturkan Amie Primani. Rentetan ujian hidup menimpanya sejak dia SMA. Bapaknya meninggal dunia. Amie harus bekerja untuk membiayai pendidikannya hingga selesai kuliah. Setelah berjuang mencari pekerjaan, dia pun mendapatkan pekerjaan sesuai passion-nya. Berikutnya cobaan dialami saat dia kesulitan melunasi biaya kuliah, namun akhirnya menemukan jalan keluar. Selanjutnya cobaan terbesar pun tiba saat dia baru melahirkan anak ketiga. Keputusan terberat harus diambil, bercerai dengan suaminya. Namun sungguh Tuhan Maha Penyayang, dia dipertemukan dengan jodohnya setelah beberapa tahun menjanda dan kehidupan rumah tangganya yang baru memberikan kenyamanan baginya.

Kisah-kisah yang lain pun tidak kalah menggetarkan. Secara keseluruhan, para penulis dalam buku ini mengisahkan bagaimana skenario dari Tuhan dimainkan. Semisal ketika datang ujian, Tuhan memberi solusi tak terbilang. Terdapat pula kisah bagaimana Tuhan mempertemukan cinta di saat yang tepat, di tempat tidak terduga dan dengan cara yang sederhana namun tidak disangka. Hal ini dituturkan secara gamblang oleh Afirotul Hariyah, lulusan universitas negeri di Jember jurusan sastra Indonesia. Dia dipertemukan dengan jodohnya di terminal. Siapa sangka setelah beberapa tahun ternyata Anwar, nama lelaki yang dipertemukan dengannya di terminal itu, kelak menjadi suami dan ayah dari anak-anaknya. Selain itu, kisah yang tidak kalah mengusik perasaan dituturkan oleh AA. Nariswari dalam tulisannya berjudul Sepotong Takdir Bernuansa Gurita.

Selain itu ada beberapa kalimat salah tulis. Sekalipun tidak membuat makna dari kalimat itu rancu, namun kesalahan penulisan membuat tidak nyaman pembaca. Kesalahan penulisan itu misalnya bisa dilihat di halaman 111 tertulis “memalui”, seharusnya “melalui”. Halaman 113, 116, 157 dan 189 tertulis “kampong” seharusnya “kampung”; “berate” seharusnya “berat’, “dating” seharusnya “datang”, dan “mencena” seharusnya “mencerna”. Terlepas dari kekurangannya, memiliki buku ini tidak rugi.

Membaca buku ini, pembaca diajak merenungkan setiap kejadian hidup yang dialami dan kemudian mengeja bagaimana takdir Tuhan. Dalam mencerna hikmah dari kisah-kisah dalam buku ini, pembaca tidak akan merasa kesulitan karena dituturkan dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Berterimakasih kepada Tuhan oleh Belgis dan 22 temannya diungkapkan dalam tulisan. Berupa kisah pribadi yang dituturkan dengan renyah oleh mereka terangkum dalam buku berjudul Mengeja Takdir Tuhan. Melalui buku ini mereka hendak menyampaikan kepada pembaca bagaimana uniknya skenario yang dibuat olehNya.

*Pegiat literasi dan mengabdi di Instika

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Wednesday, May 17, 2017

Cerita di Hari Baru, 17 Mei 2017


Hari ini, sekitar jam setengah enam, suasana sehabis jamaah subuh di Musolla Perumahan Puncak Permata Sengkaling (PPS) diramaikan oleh gerombolan bocah. Mereka dari dua kubu, gerombolan bocah PPS dan gerombolan bocah kampung bawah. Hampir tiap libur sekolah mereka berkumpul di halaman musolla, untuk bermain apa saja. Tapi yang sering mereka bermain bola. Itu dunia mereka.

Ada beberapa warga yang senang pada tingkah gerombolan itu, ada yang datar saja tidak terpengaruh, dan ada pula yang resah karena gerombolan itu hanya bermain. Saya selaku bagian dari warga merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperkecil "ketidaknyamanan" tersebut, agar semua warga senang dan bocah-bocah itu juga senang.

Jadilah saya melakukan interaksi sosial dengan gerombolan bocah itu. Saya tahu dunia saya adalah kampus dan literasi, sedang bocah-bocah itu dunianya bermain, ini yang barang kali oleh Kak Nada disebut "dunia lain". Untuk berinteraksi aktif dengan mereka, saya harus memasuki dunia lain dimaksud.

Pertama saya coba mengidentifikasi identitas dan perilaku mereka, kira-kira melalui siapa atau apa saya memasuki dunia mereka. Tidak butuh waktu lama, saya pun menemukan pintu masuk. Mereka memanggilnya dengan nama Rozan. Di antara yang lain, Rozan adalah anak yang dominan memberi intruksi. Saya perkirakan dialah pimpinan gerombolan itu.

"Zan, zan, mau main bola ta?" tanyaku sok akrab, "biar tambah seru, ayo aku yang jadi wasit."

"Woy, teman-teman, kak Muktir jadi wasit!"
Tawaran saya disambut baik oleh Rozan dan teman-temannya. Yes, pintu telah terbuka dan saya siap memasuki dunia lain. Mahasiswa S2 Ekonomi Syariah jadi wasit dalam pertandingan bola antara gerombolan bocah PPS vs gerombolan bocah kampung bawah. Wow!

Pertandingan siap dimulai. Sebelum itu saya panggil kedua kapten gerombolan untuk memberi arahan pertandingan. Di tengah perundingan, salah satu warga memberikan usul bahwa siapa yang menang akan diberikan hadiah olehnya. Wuih, kedua gerombolan pun bersorak gembira.

Mendapat angin segar dan sejuk di dunia mereka, saya pun memunculkan ide yang saya tawarkan kepada para penghuni dunia lain tersebut. Saya tawarkan bagaimana jika pertandingannya ditunda nanti sore agar kedua gerombolan melakukan persiapan. Selain itu, saya sebagai wasit merangkap panitia pelaksana harus menyiapkan lapangan dan tribun penonton terlebih dulu. Atas tawaran saya, mereka menyepakatinya. Konsekuensi dari kesepakatan itu, karena panpelnya seorang, maka kedua gerombolan harus membantu menyiapkan lapangan pertandingan dan tribun penonton.



Di sinilah saya mencoba mengajak mereka rekreasi, traveling, ke dunia luar. Dunia bersih-bersih. Dan sungguh, mereka melakukannya; membersihkan areal musolla PPS dan bahkan di dalam musolla. Warga senang melihatnya, gerombolan bocah pun senang melakukannya, meski ada nyeletuk,
"Kita main bola tapi kok bersih-bersih sih?". Hahahaha.

*bersambung*
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Thursday, April 6, 2017

Lima Hal yang Membuat Mahasiswa Ekonomi Syariah Muak dengan Wisuda (2)

Keempat, acara wisuda membosankan.

Acara berlansung biasanya antar 4-7 jam. Selama itu acara yang dinanti hanya mindahin tali yang ada di kepala. Selebihnya kita hanya duduk di auditorium tanpa melakukan apa-apa, kecuali makan snack yang dikasih panitia atau kita main game di smartphone dan update status tentang wisuda kita. Foto biasanya akan diupload nanti sesampainya di rumah karena harus dipilah dan dipilih mana foto yang paling mewakili ekpresi yang ingin kita pamerkan ke dunia.

Bagi mahasiswa yang menjadikan rokok bagian dari caranya bernafas, maka acara wisuda adalah hal yang memuakkan. Merokok memang bagi sebagian mereka yang menggembar-gemborkan syari’i itu perbuatan sesat bahkan disamakan dengan sririk, menyekutukan tuhan, dan itu adalah perbuatan paling tercela. Wong mereka sipembenci rokok saja menghisap asap rokok tanpa sengaja sudah merasa kena adzab kok, apali siahli hisab. Mungkin karena itulah mereka yang syar’i itu ke mana-mana menggunakan masker lebar.

Sedangkan bagi mahasiswa ekonomi syariah berdiam seperti itu menyalahi prinsip dalam ekonomi syariah karena tidak produktif, padahal umat muslim haruslah produktif agar semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Maka jika ada mahasiswa ekonomi syariah merasa muak pada acara wisuda dengan beralasan seperti itu, katakan ini padanya, “Sarap luh.”

Kelima, wisuda berarti lulus kuliah dan itu bermakna siap mengaplikasikan ilmu yang didapat selama perkuliahan.

Mungkin bagi sebagian mahasiswa di jurusan yang lain wisuda bermakna dapat ijazah dan oleh karenanya sudah memenuhi syarat untuk melamar kerja dan atau melamar calon istri. Namun bagi mahasiswa ekonomi syariah wisuda bermakna dia telah dianggap mampu untuk mengaplikasikan teori-teroi ilmu-ilmunya tentang ekonomi syariah. Menerapkan konsep ekonomi syariah dalam kehidupan sehari-hari itu sulit ya, Akhi.

Karena itulah mahasiswa ekonomi syariah yang merasa belum mampu, dia akan menghindari wisuda. Sebagaimana dia menghindari kenyataan hidupnya bahwa dia sudah semester akhir tapi skripsi belum kelar, pihak kampus selalu tanya kapan mau lulus dan itu artinya dia diusir dari kampus, masih jomblo alias ga laku, dan skripsi selalu ditolak dosen pembimbing mirip kisah percintaanya yang selalu mengalami penolakan.

Kesimpulannya adalah mahasiswa ekonomi syariah yang muak dengan wisuda itu sungguh memprihatinkan.

(Kemabali bagian 1)

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Lima Hal yang Membuat Mahasiswa Ekonomi Syariah Muak dengan Wisuda (1)

Saya mahasiswa jurusan ekonomi syariah di Malang. Seharusnya 2017 menjadi tahun terakhir saya berstatus mahasiswa, atau bahasa palig memuakkannya adalah wisuda.

Ada lima hal kenapa wisuda harus menjadi memuakkan bagi saya dan beberapa teman yang senasib. Tentang kenapa harus lima dan bukan empat, enam, tujuh atau yang lainnya, adalah karena saya suka angka 5. Itu saja. Simple kan?

Lima hal yang saya rasa penting diketahui, untuk memperbaiki cara pandang Anda bahwa mahasiswa dengan jurusan berlabel “syariah” itu sungguh memilukan.

Oke, sebaiknya jika Anda adalah bagian dari mahasiswa jurusan ekonomi –dengan kata- syariah, entah Anda sebagai mahasiswa, saudaranya, temannya, bapak-emmaknya, dosennya, kajur/sekjurnya, atau bahkan Anda satpam di kampus tempat mahasiswa ekonomi syariah mondar-mandir ibarat kupu-kupu, maka perhatikanlah lima hal berikut ini.

Pertama, hal paling krusial yang bercokol di kepala mahasiswa ekonomi syariah saat mendengar kata wisuda adalah PW, alias pendamping wisuda. Ini memang sudah menjadi gosip umum para mahasiswa, baik di kampus, di kamar kosan, di media sosial seperti facebook dan twitter. Jika tidak percaya, coba Anda tanya Bapak Presiden dan Kapolri.

Pendamping wisuda artinya istri, bukan pacar. Ingat, mahasiswa berlabel syariah dilarang pacaran ya, Akhi! Maka pendampingnya harus bersertifikat halal sekalipun bukan dari MUI, karena MUI sedang sibuk dengan urusan lain di Jakarta. Eh, sertifikat halal yang itu bukannya urusan KUA ya?

Nah, bagi mahasiswa yang jomblo seperti saya, wisuda menjadi hal yang memuakkan karena harus menghadapi bertubi-tubi pertanyaan sadis teman, “mana PW-mu?”

Kedua, tugas akhir. Bro, untuk sampai pada tahap wisuda tuh perjuangannya sungguh ribet. Yang paling membuat ribet adalah mengerjakan skripsi. Diperparah lagi dosen pembimbing skripsi sok jual mahal, sulit ditemui dan sekali ketemu dengan semena-mena dia mencorat-coret skripsi kita. “Revisi,” begitu ringannya dia berkata tidak peduli hati mahasiswanya juga tercorat-coret luka. Peeedih, Bro. Lebih pedih dari pertanyaan yang mana PW-mu?

Selain itu saat ditelpon orang tua menanyakan kapan kita lulus. Duh, seandainya mereka tahu sulitnya untuk sampai tahapan wisuda. Ditanya wisuda sih masih mending. Sekarang coba bayangkan saat ibu telpon, dia ngebandingin kita dengan anak tetangga yang habis beli motor baru, terus dia sebentar lagi akan menikah. Terus lagi ibu ngingatin kita kalau dia umurnya lebih muda dari kita dan tidak kuliah, hanya lulusan SMP. Apa yang kamu rasakan jika sebagai mahasiswa ekonomi syariah? Kalau yang saya rasakan sih, saya muak mendengar kata wisuda.

Ketiga, Setelah diwisuda tentu kita dapatkan gelar sarjana ekonomi syariah. Mendengar kata sarjana ekonomi saja tetangga di kampung akan berpikiran kita pintar, sejahtera, mapan, pokonya sukseslah. Apalagi ditambah kata syariah. Wuih, sudah pinter, kaya, syar’i lagi. Padahal kenyataannya setiap pertengahan bulan untuk bertahan hidup hanya makan indomie yang kadang direbus kadang dimakan langsung, meski sudah jelas tertulis di bungkusnya mie goreng.

Gelar sarjana itu beban, ya Akhi! Ingat, beban. Terlebih bagi mahasiswa sleboran seperti saya yang sering bolos kuliah dan lulusnya hanya karena kampus ingin segera cuci gudang memperbaharui stok mahasiswa. Saat seperti itulah, wisuda jadi memuakkan.

(Lanjut Bagian 2)

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Thursday, March 9, 2017

Kuperkenalkan Lek Istianah Padamu

Keakraban. Perantauan. Satu alma mater. Satu daerah.

Sederek kata itu menjadi faktor hubungan kita dengan seseorang. Hubungan adalah ikatan relasi.

Mungkin karena sama-sama di perantauan, satu alma mater dulu dan satu daerah Sumenep, aku akrab dengan seorang mahasiswi Unisma, kupanggil dia Lek Istianah. Lek adalah adik.

Dia baik padaku. Ukuran baik bagiku tidak terlalu jauh dengan urusan makanan. Kamu nawarin aku makan, maka kamu baik. Kamu mentraktirku makan atau menghadiahiku makanan, maka kamu baik. Kamu memberi tahu rahasia resep makanan, kamu baik. Kamu ngobrol tentang makanan, maka kamu baik. Kamu membuang makanan, baru kusebut kamu tidak baik.

Ada beberapa orang yang baik menurutku karena berurusan dengan makanan. Salah satunya si Nurul itu dan tentu Lek Istianah. Kemarin Lek Istianah memberiku goreng kruluk sekantong plastik besar. Dasar aku maniak makanan, alias pemakan segala, alias rakus, diberi krupuk sebanyak itu membuatku sangat senang.

Pelajarannya adalah, jika kamu ingin berbuat baik, tawarkan dan berikan makananmu pada yang membutuhkan dan jangan pernah membuang makanan.

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Tuesday, December 6, 2016

MAHASISWA DAN KREATIVITAS DI BLOG

Tentang bagaimana seorang mahasiswa dinilai cerdas di masa mengenyam pendidikan, orang boleh saja berbeda pendapat. Ungkapan umum selama ini adalah bahwa mahasiswa tampak cerdas ketika nilai indeks prestasinya di kartu hasil studi (KHS) tinggi. Saya sendiri tidak suka ungkapan itu, karena saya merasa seorang mahasiswa, khususnya yang masih aktif di kampus, tampak cerdas ketika ia memiliki blog!

Tentu ada sebabnya. Sebab itu adalah karena saya punya pengalaman cukup intens ketika menikmati kreativitas para mahasiswa di blog-nya. Namanya Mashitah Mirza, yang blognya selalu saya tongkrongin setiap kali “online”. Dia berstatus mahasiswi di salah satu Universitas terkemuka di Yoyakarta. Kreativitasnya di blog pribadinya, sungguh sangat saya kagumi. Artikel-artikelnya semakin menggambarkan bahwa dia adalah mahasiswi cerdas. Setiap bahasan yang diposting ditulis dengan rapi, alurnya runut dan bahasanya lugas. Perfect, begitulah ungkapan yang pantas untuk artikel-artikelnya di blog.

Banyak hal yang Mshitah tulis, mulai dari kejadian-kejadian lucu, menyebalkan, menyenangkan, puisi, cerpen, tugas kuliyah, opini dan hal-hal lain. Saya setuju jika dia memposting semua tulisannya tentang apa pun, karena seyogyanya blog memang adalah day note (catatan harian) atau istilah yang dikenal diary.

Alas an lainnya, kenapa saya mengatakan mahasiswa tampak cerdas ketika memiliki blog, sungguh betapa jarangnya mahasiswa di Indonesia yang mengerti tata cara memiliki blog pribadi. Malah yang banyak dari sekian mahasiswa Indonesia, hamper 80% tidak paham memposting artikel ke blog dan bahkan tidak tahu cara membuatnya. Hal ini pun semakin diperparah dengan maraknya mengcopy paste artikel punya orang lain dari internet untuk memenuhi tugas mata kuliah dari dosen. Padah, harus diakui, mengcopy paste karya orang lain (plagiat) itu pekerjaan “terhina” dalam dunia akademik. Jadi, memilki blog pribadi yang ternyata masih sangat langka di kalangan mahasiswa, cukup untuk menyebutkannya cerdas.

Jadi, begitulah saya berkesimpulan bahwa seorang mahasiswa akan tmapak cerdas kala dia sudah memiliki blog pribadi. Tak bias tidak mesti begitu, karena saya pun banyak kenal dengan mahasiswa yang “pintar”. Misalnya nilai indeks prestasi komulatif (IPK) paling tinggi, makalahnya dipuji dosen, selalu dipuji dosen karena aktif di kelas. Dalam prestasi yang seperti itu, sungguh sikap saya biasa-biasa saja. Pernah juga saya berbincang dengan mahasiswa yang setiap harinya menjadi pembicaraan karena setiap ujiannya nilainya selalu terbaik. Namun hal itu tak membuat tubuh saya bergeming, karena bias saja tugas-tugas kuliyahnya hasil dari copy paste dan setiap ujian hasil contek, maka apa yang bias dibanggakan dari mahasiswa demikian? Sekalipun diwisuda dengan nilai Cumlaude.

Dengan memiliki blog pribadi banyak hal bias dilakukan dan menambah kreativitas, missal memahami seluk beluk internet, adu pintar mendesain dan layout blog sehingga tampak indah dan mampu mengundang banyak pengunjung, punya kegiatan menulis untuk mengasah kemampuan menulis mahasiswa yang merupakan suatu hal wajib dimilki mahasiswa, dan terpenting akan berpikir berulang kali sebelum mencopast artikel orang lain.

Ya, inimemang selera pribadi. Karena itu saya tak berselera besar untuk meperdebatkannya. Namanya saja “selera”, sangat mempribadi, subjektif. Karena itu pula, saya tak begitu bernafsu mencampuradukannya dalam hal penentuan perlu tidaknya mahasiswa punya blog pribadi. Namun pertanyaan yang saya ajukan, di dunia global yang serba canggih dan penuh teknologi ini, masihkah seorang mahasiswa yang selalu berbenturan dengan dunia pendidikan tidak bias sekedar paham, jika tidak bias memiliki, sebuah blog saja? Jika di Negara luar sana anak seusia SD saja sangat paham dunia internet apalagi hanya blog, masihkah mahasiswa Indonesia tetap diam?

Tulisan di Majalah ACTIVITA Edisi XXXII, I, 2012. Jaman Jahiliyah dulu.



>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Friday, November 25, 2016

Nairatul Achkamiyah, Perempuan Inspiratif dari Kampung Sasar

Lahir dan besar di perkampungan bernama Sasar. Kampung pelosok di ujung timur Madura, tepatnya Desa Kapedi Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep. Sejak kecil cinta dan peduli pada pendidikan. Kecintaan tersebut dibuktikan dengan tidak ragunya beliau menimba ilmu ke para alim yang setiap hari untuk menuntut ilmu beliau menempuh perjalanan kurang lebih 8 km dengan berjalan kaki.
Saat dewasa dan berkeluarga, atas dukungan suami beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dinamai Miftahul Ulum. Lembaga tersebut menampung para muda mudi kampung Sasar untuk belajar. Mayoritas penduduk Sasar saat itu tidak melek pendidikan, karena yang jadi motivasi hidup mereka adalah bertani, bekerja dan mendapatkan uang sehingga tidak jarang penduduk Sasar yang tidak tuntas mengenyam pendidikan setingkat sekolah dasar. Melihat kenyataan demikian Nyi. Nairah, begitu beliau dikenal, pun menaruh perihatin dan oleh karenanya beliau mendirikan lembaga Miftahul Ulum tersebut.
Ny. Nairah sendiri tidak memiliki ijazah formal bahkan ijazash SD beliau tidak memilikinya. Namun beliau peduli akan pendidikan. Beliau belajar kepada para gurunya secara private bukan di lembaga formal. Kepeduliannya terhadap pendidikan penduduk Sasar khususnya, yang telah mengispirasi untuk mendirikan lembaga pendidikan dan tidak hanya itu lembaga tersebut mendapatkan surat ijin operasional dari kemenag.
Proses pendirian lembaga pendidikan Miftahul Ulum tidaklah berjalan lancar, banyak rintangan yang dihadapi termasuk proses legalisasi dari kemenag tersebab Nyi Nairah tidak memiliki ijazah pendidikan. Namun atas izin Allah yang maha kuasa, berdasar kemampuan dan luasnya keilmuan beliau yang disaksikan langsung oleh perwakilan kemenag saat itu dengan cara Nyi Nairah mempresentasikan (berpidato) di depan masyarakat dan itu didokumentasikan dalam bentuk video, maka kemudian keluarlah surat ijin operasional pendidikan. Saat itu, Miftahul Ulum menajdi satu-satunya lembaga pendidikan yang diakui oleh permerintah dan mendapat ijin menyelenggarakan pendidikan setingkat sekolah dasar di kampung Sasar. Jadilah lembaga tersebut kemudian bernama Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Ulum.
Selain itu, beliau mengadakan dan membina langsung kumpulan (Madura: kompolan) pengajian kitab-kitab klasik yang membahas perkara kehidupan sehari-hari di kampung Sasar dan sekitarnya. Jadwalnya setiap hari, kecuali hari Rabu dan Sabtu.
Hingga sekarang di umurnya yang sudah menua (60-an) dan meski sambil menahan penyakit yang dideritanya, beliau tetap aktif berpartisipasi dalam proses pendidikan di Miftahul Ulum dan masyarkat Sasar. Ditambah beliau tetap aktif di keorganisasian Muslimat NU Sumenep.
Meski dengan fasilitas terbatas di Miftahul Ulum, semangat beliau tidak pernah kendor untuk peduli pendidikan. Kekurangan ruang belajar tidak pula membuatnya kehabisan cara. Rumah kediaman beliau pun difungsikan untuk ruang belajar mengajar.
Begitulah beliau membuktikan dan menunjukkan pada saya dan pemuda pemudi yang lainnya, bahwa siapa pun bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, masyarakat, bangsa dan bahkan Negara, tidak terbatas hanya kerena dia belia, tua, perempuan, orang kampung dan tidak pula terbatas hanya karena tidak berijazah formal.
Semoga kesehatan selalu menyertai beliau. Amin.

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Tuesday, November 15, 2016

Menikmati Masakan Orang Terunik

Tidak usah pedulikan judulnya. Perhatikan tokoh yang akan kuceritakan kali ini. Perempuan unik. 
Barangkali kamu tidak percaya ada perempuan jarang (untuk tidak menyebut tidak sama sekali) mandi, eh tapi dia cantik. Suer samber humburger, dia cantik meski anti air. Jika masih tak percaya, searching saja di gugel dengan keyword Nurul Alfiyah Kurniawati.
Suatu saat dia cerita ingin segera pindahan kos, tersebab air mandinya warna coklat dan bau. Menurutku sebenarnya dia tidak mempermasalahkan airnya kotor dan bau sehingga punya alasan untuk tidak mandi, tapi lebih karena perempuan satu ini harus steril dari bakteri. Kulit, terutama area wajahnya, semacam terjaring rosacea.Intinya dia harus menghindarkan kulitnya dari bakteri, seperti yang berkembang biak di air kotor dan bau. Oleh karena itu, dia sikatan, cuci muka dan pipis terpaksa menggunakan air mineral yang dibeli di toko dekat kosannya. Duuh, sungguh ini anak bikin gemes. Tidak suka mandi, tapi pipis pake beli air botolan segala.
Alasan lainnya dia ingin pindah kosan karena tidak ada dapur dan tempat jemur cucian. Bagi orang yang suka nyuci dan cinta memasak, tempat jemuran pakaian dan dapur sungguh menjadi taman surga baginya. Sedangkan kosan yang tidak terdapat taman surga begitu adalah neraka. Semoga dia segera menemuka taman surganya… amin.
Selain itu, Nurul seorang penulis. Jika kamu cari namanya di gugel, jangan terkejut misal nanti ketemu link yang menjelaskan tentang kebolehan dia dalam menulis cerita ( http://www.bjeben.id/2012/12/menulis-cerita-sebagai-kesenangan.html ). Tulisannya juga terparkir di media nasional, Jawa Pos.
Bercerita mengungkap keunikan dan kelebihan satu anak ini kurasa tidak akan cukup waktu satu hari atau bahkan full satu minggu dan tidak akan cukup 500 lembar kertas menampung biografinya.
Karenanya aku tidak akan bercerita lebih panjang lagi, aku hanya ingin mengucapkan terimakasihku pada Nurul telah bersedia kurepotkan membuatkan makanan super enak untukku. Sambal pindang dan lemper.
Masakan ini menjadi sangat spesial bagiku, pertama, karena aku baru pertamakali makan masakan Nurul dan makan yang namanya sambal pindang. Kedua, karena dia saat memasak ini, tempo emosinya sedang tidak stabil. Ibu, ayah dan adiknya sedang sakit bersamaan kakaknya sedang tidak di rumah. Dia bilang memasak merupakan upaya dia mengatur tempo emosinya agar tidak sedih melainkan tetap berbahagia. Ketiga, butuh waktu seharian dia berkutat di dapur dari pagi sampai jam 00.00.
Terakhir, aku berjanji tidak menyiakan masakannya. Sudah kulahap habis masakan yang diperuntukkan untukku. Sekali lagi, terimakasih Nyih Nurul. Masakanmu ueeeeenaaak, tapi kurang pedas… hahahah. Namanya sambal pindang tapi pedasnya tidak terasa. Sedangkan untuk lempermu, aku angkat topi wes, enak dan baru pertama aku ngerasakan lemper dengan rasa yang beda. Pokoe, salam lemper… :D


>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Wednesday, November 9, 2016

Dia Wisuda tapi Aku Lambat Mengucapkan Selamat

Ada teman mengenalkan teori Quantum padaku. Hal yang dapat kutangkap adalah apa yang terjadi padaku adalah serangkaian takdir yang telah direncanakan oleh Sang Maha Perencana. Aku pun juga terlibat dalam perencaan itu, hanya aku amnesia (lupa) tentang rencana yang kubuat itu. Amnesia yang terjadi padaku disengaja, dan amnesiaku termasuk dari rencana tersebut. Oleh karena itu kadang ketika mengalami suatu mejadian aku merasa pernah mengalami sebelumnya. Dejavu. Begitu teori quantum yang diperkenalkan padaku.

Tercatatlah dalam kepalaku. 

Aku bertemu seorang perempuan yang memperkenalkan dirinya Eva. Pertemuan kami di luar dugaanku, tapi aku serasa pernah mengalaminya. 

Awal bertemu tidak ada yang menarik darinya, selain pengakuannya kuliah di Jogja. Yah aku menaruh perhatian lebih pada hal yang berkaitan dengan Jogja. Sampai akhirnya kami akrab dan terikatlah hubungan yang sulit dibahasakan namun intinya adalah erat dan kuat, lebur dan bersatu ( tuh kan, membahasakannya sulit). Aku memanggilnya Lek Eva dan dia memanggilku Kak Muktir. Gak usah ngecie cie. Biasa saja kali. Jihha haahaa.

Perkenalan dan hubungan kami yang demikian serasa pernah kualami. Itu pernah terjadi sebelumnya. Kami pernah saling kenal secara intens. Mungkin karena itulah, pertama kali bertemu kami langsung akrab.

Terlepas dari quantum, ada banyak hal yang bagiku unik dan menarik darinya. Baik itu tingkah lakunya, cara dia menyikapi kehidupannya, penampilannya sampai cara dia tertawa pun aku terkesan. Dari kisah hidupnya banyak pula yang senang kusimak, diantaranya keputusan dia untuk kuliah dan perjalanan kuliahnya di UII jurusan kimia.

Pada tanggal 23 Oktober kemarin dia wisuda. Pada tingkat keinginan terbesarku aku ingin datang ke acara wisudanya dan ikut merayakan kegembiraannya menyandang gelar sarjana. Dasar aku selalu punya alasan, ya aku tidak bisa datang karena tidak memungkinkan. Aku harus pulang ke Madura saat itu.

Okelah agar tidak berpanjang kali lebar lagi, demi untuk memberikan hadiah sebagai bentuk rasa syukur dan bahagia atas wisuda Lek Eva, maka aku menuliskan ini dan meski lambat kuucapkan selamat atas wisudamu, Lek. Semoga ilmu yang kamu peroleh bermanfaat. ^_^

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels