Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Thursday, April 6, 2017

Lima Hal yang Membuat Mahasiswa Ekonomi Syariah Muak dengan Wisuda (1)

Saya mahasiswa jurusan ekonomi syariah di Malang. Seharusnya 2017 menjadi tahun terakhir saya berstatus mahasiswa, atau bahasa palig memuakkannya adalah wisuda.

Ada lima hal kenapa wisuda harus menjadi memuakkan bagi saya dan beberapa teman yang senasib. Tentang kenapa harus lima dan bukan empat, enam, tujuh atau yang lainnya, adalah karena saya suka angka 5. Itu saja. Simple kan?

Lima hal yang saya rasa penting diketahui, untuk memperbaiki cara pandang Anda bahwa mahasiswa dengan jurusan berlabel “syariah” itu sungguh memilukan.

Oke, sebaiknya jika Anda adalah bagian dari mahasiswa jurusan ekonomi –dengan kata- syariah, entah Anda sebagai mahasiswa, saudaranya, temannya, bapak-emmaknya, dosennya, kajur/sekjurnya, atau bahkan Anda satpam di kampus tempat mahasiswa ekonomi syariah mondar-mandir ibarat kupu-kupu, maka perhatikanlah lima hal berikut ini.

Pertama, hal paling krusial yang bercokol di kepala mahasiswa ekonomi syariah saat mendengar kata wisuda adalah PW, alias pendamping wisuda. Ini memang sudah menjadi gosip umum para mahasiswa, baik di kampus, di kamar kosan, di media sosial seperti facebook dan twitter. Jika tidak percaya, coba Anda tanya Bapak Presiden dan Kapolri.

Pendamping wisuda artinya istri, bukan pacar. Ingat, mahasiswa berlabel syariah dilarang pacaran ya, Akhi! Maka pendampingnya harus bersertifikat halal sekalipun bukan dari MUI, karena MUI sedang sibuk dengan urusan lain di Jakarta. Eh, sertifikat halal yang itu bukannya urusan KUA ya?

Nah, bagi mahasiswa yang jomblo seperti saya, wisuda menjadi hal yang memuakkan karena harus menghadapi bertubi-tubi pertanyaan sadis teman, “mana PW-mu?”

Kedua, tugas akhir. Bro, untuk sampai pada tahap wisuda tuh perjuangannya sungguh ribet. Yang paling membuat ribet adalah mengerjakan skripsi. Diperparah lagi dosen pembimbing skripsi sok jual mahal, sulit ditemui dan sekali ketemu dengan semena-mena dia mencorat-coret skripsi kita. “Revisi,” begitu ringannya dia berkata tidak peduli hati mahasiswanya juga tercorat-coret luka. Peeedih, Bro. Lebih pedih dari pertanyaan yang mana PW-mu?

Selain itu saat ditelpon orang tua menanyakan kapan kita lulus. Duh, seandainya mereka tahu sulitnya untuk sampai tahapan wisuda. Ditanya wisuda sih masih mending. Sekarang coba bayangkan saat ibu telpon, dia ngebandingin kita dengan anak tetangga yang habis beli motor baru, terus dia sebentar lagi akan menikah. Terus lagi ibu ngingatin kita kalau dia umurnya lebih muda dari kita dan tidak kuliah, hanya lulusan SMP. Apa yang kamu rasakan jika sebagai mahasiswa ekonomi syariah? Kalau yang saya rasakan sih, saya muak mendengar kata wisuda.

Ketiga, Setelah diwisuda tentu kita dapatkan gelar sarjana ekonomi syariah. Mendengar kata sarjana ekonomi saja tetangga di kampung akan berpikiran kita pintar, sejahtera, mapan, pokonya sukseslah. Apalagi ditambah kata syariah. Wuih, sudah pinter, kaya, syar’i lagi. Padahal kenyataannya setiap pertengahan bulan untuk bertahan hidup hanya makan indomie yang kadang direbus kadang dimakan langsung, meski sudah jelas tertulis di bungkusnya mie goreng.

Gelar sarjana itu beban, ya Akhi! Ingat, beban. Terlebih bagi mahasiswa sleboran seperti saya yang sering bolos kuliah dan lulusnya hanya karena kampus ingin segera cuci gudang memperbaharui stok mahasiswa. Saat seperti itulah, wisuda jadi memuakkan.

(Lanjut Bagian 2)

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels